Jumat, 19 Agustus 2011

PUASA; STASIUN KEHIDUPAN

Bulan Ramadhan dalam ajaran Islam merupakan bulan yang sangat disucikan, bahkan oleh karena kesuciannya, bagi umat Islam yang merasa “senang” atas kehadiran Ramadhan bisa menjadi penghalang baginya masuk neraka, kata Nabi “Barang siapa yang senang dengan masuknya bulan Ramadhan, Allah mengharamkan jasadnya (terkena) api neraka” (Al-Hadits).

Oleh karena begitu sucinya Ramadhan, akhirnya kita melihat banyak umat Islam yang begitu antusias untuk menyambut Ramadhan, misalnya banyak kegiatan pengajian-pengajian digelar untuk menyambut ramadhan, di masyarakat Jawa ada kegiatan budaya untuk menyambut Ramadhan dengan upacara adat “megengan” ialah sebuah acara selamatan untuk menyambut ramadhan agar diberikan keselamatan dalam menjalankan ibadah puasa, bahkan kantor-kantor Pemerintah banyak yang membuat spanduk besar, yang menunjukkan betapa senangnya atas kehadiran Ramadhan “Marhaban ya ramadhan – selamat datang bulan ramadhan”. Namun demikian, cukupkah menyambut ramadhan hanya dengan selamatan “megengan” atau dengan membuat spanduk yang besar?. Tidak!!! Menyambut ramadhan yang paling tepat adalah dengan memenuhi panggilan ramadhan untuk “menahan nafsu”, dengan berpuasa dan didukung melalui peribadatan sunnah yang lainnya.

Inti dasar dari kegiatan ramadhan adalah “puasa”, yaitu upaya menahan nafsu dari hal-hal yang bisa membatalkan puasa sejak dari waktu yang telah ditentukan yaitu sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Secara lahiriah seorang muslim yang berpuasa harus menahan diri dari makan dan minum, berhubungan sexs disiang hari, dan berbagai kegiatan lain yang intinya memasukkan sesuatu barang atau benda ke dalam tubuh melalui “sembilan lubang”. Dan secara batiniah seorang muslim yang berpuasa harus meninggalkan hal-hal yang bersifat maksiat, mengumpat, memfitnah, mengadu domba, dan berbagai jenis larangan lainnya, pokoknya dalam ramadhan seorang muslim selain harus meninggalkan apa yang telah disebut di atas, ia harus puasa dari perilaku buruk.

Bagi seorang muslim, bulan ramadhan yang didalamnya diwajibkan puasa, harus dijadikan sebagai stasiun untuk berhenti sejenak dari hiruk pikuk kehidupan dunia guna merenungkan aktifitas-aktifitas yang telah dilakukannya. Ibarat mobil, bulan ramadhan adalah saatnya servis untuk memperbaharui lagi komponen-komponen yang aus dengan yang baru dan lebih baik kualitasnya. Maka, ramadhan adalah saat seorang muslim menservis kondisi spiritualnya dengan memperbaharui kegiatan-kegiatan yang penuh dengan nilai kesucian seperti sucinya bulan ramadhan.

Puasa dalam ajaran Islam tidak hanya sekedar menahan makan dan minum serta hubungan sexs di siang hari, akan tetapi secara ruhaniah puasa merupakaan wahana pendekatan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu - selain berpuasa, umat Islam disunnahkan untuk menambah amalan ibadah lainnya baik yang bersifat vertical dalam bentuk hubungan langsung dengan Tuhan melalui shalat dan dzikir maupun yang bersifat horizontal melalui hubungan baik terhadap sesama manusia misalnya dengan memperbanyak sedekah atau memperbanyak kemanfaatan bagi manusia lainnya.

II

Mengapa bulan yang sangat disucikan ini dinamakan ramadhan?. Ada keterangan yang menyebutkan bahwa ramadhan bermakna membakar. Menurut riwayat pada saat bulan ramadhan ini tiba, di Arab sana (dahulu) merupakan musim panas yang karenanya seperti panas api yang membakar. Dalam konteks spiritual, makna ramadhan juga membakar, artinya membakar dosa-dosa bagi seorang muslim dengan amaliah puasa yang penuh keikhlasan, dalam hal ini Nabi bersabda “Barang siapa berpuasa ramadhan atas dasar keimanan dan pengharapan pada ridha Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu” (Al-Hadits).

Hubungan spiritual manusia dengan Tuhan, selalu diperbaharui melalui ibadah dalam bulan ramadhan. Tingginya nilai ibadah ketika bulan Ramadhan memberikan petunjuk bahwa saat bulan ramadhan ini merupakan saat yang tepat untuk suatu kontemplasi – perenungan yang mendalam bagi setiap muslim terhadap apa saja yang telah dilakukannya. Maka kontemplasi yang sebenarnya pada bulan Ramadhan akan mengarahkan manusia untuk menyadari jati dirinya sebagai manusia, betapa hubungan manusia dengan Tuhan begitu bermakna dan sekaligus betapa hubungan baik terhadap sesama manusia mengandung hikmah yang besar.

Nabi pernah menyampaikan sabdanya yang mengandung makna “seandainya engkau tahu betapa besarnya berkah ramadhan, maka engkau akan berharap semua bulan ini dijadikan ramadhan” (Al-Hadits). Secara lahiriah kesadaran terhadap tingginya “nilai” ramadhan ini banyak dirasakan oleh setiap orang. Bisa dilihat secara jelas pada bulan ramadhan banyak orang yang berubah kepribadiannya dari yang kurang baik menjadi baik – pejabat yang tidak biasa berbaur dengan masyarakat - saat ramadhan tiba mereka tidak merasa risih duduk bersama dengan masyarakat awam untuk shalat tarawih bersama (walau secara ekslusif sesekali mereka juga mengundang khusus pejabat-pejabat sejajar atau pejabat dibawahnya untuk shalat tarawih bersama), bahkan juga makan bersama dengan makanan yang sama. Demikian juga pada saat ramadhan, mereka yang semula “kikir” pada bulan ramadhan juga menjadi loman alias dermawan. Pada hari-hari biasa abang becak jarang atau tak pernah mendapatkan bingkisan dari pejabat, tapi saat ramadhan tiba mereka kebanjiran rezeki berupa voucer untuk mengambil jatah bingkisan di rumah pejabat pemerintah. Demikian juga para anggota dewan, yang semula ditelfon saja sulitnya bukan main – saat bulan ramadhan, mereka mengadakan safari ke sana kemari untuk membagikan bingkisan ramadhan – mereka tidak takut lagi untuk menerima telfon bahkan di atas mimbar mereka menebar senyum kedamaian. Mungkin, orang-orang di balik tembok sana berfikiran – kalau begitu enaknya bulan ini dijadikan ramadhan semua.

Maka dengan amaliah ramadhan yang dilakukan penuh ikhlas semua dosa akan diampuni Tuhan. Jangankan Tuhan Yang Maha Pengampun – rakyat jelata saja begitu mudah mengampuni pejabatnya jika saat bulan ramadhan mereka disapa dengan ramah. Wah…, pejabat yang ini nanti akan saya pilih lagi atau kalau dia tak maju mungkin isterinya yang saya pilih karena – dia loman alias dermawan mau safari saat ramadhan. Begitu juga dengan dia – DPR yang satu ini nanti akan saya perjuangkan lagi, kenapa? karena dia seringkali memberikan bingkisan, ramah dan sering menyapa.

Walhasil ramadhan mampu membuka “hati” semua orang, pejabat, rakyat, atau siapa saja dia. Kesucian Ramadhan seolah menjadi sebuah “mantra” yang ampuh untuk membangkitkan semangat religiusitas seseorang. Orang-orang yang tidak pernah ke mushalla atau ke masjid, pada saat bulan ramadhan pun pergi ke mushalla dan masjid guna menunaikan ibadah shalat tarawih atau lainnya, entahlah motifnya – kesadaran diri atau hanya sekedar untuk mengikuti umumnya tetangga-tetangga, mereka juga berpuasa – minimal untuk menghargai temannya yang sedang berpuasa.

III

Didalam ramadhan - seorang muslim memenuhinya dengan puasa dan ibadah penuh khusyu’ – dengan upaya pendekatan diri pada Tuhan. Semua amalnya dipersembahkan hanya untuk pengabdiannya pada Tuhan, maka Tuhan-pun kelak secara khusus akan memberikan suatu penghargaan tersendiri bagi orang-orang yang berpuasa dengan memberinya “pintu” khusus di dalam surga yang bernama “rayyan”. Maknanya Tuhan membuka pintu yang luas bagi orang yang berpuasa untuk memberikan rahmat dan pengampunan-Nya.

Guna mengakhiri puasa ramadhan – seorang muslim mempunyai satu kewajiban mengeluarkan “zakat fitrah”. Zakat bukan belas kasihan akan tetapi kewajiban orang kaya dan hak orang miskin. Zakat adalah pembagian antara sesama sekutu dalam kekayaan umum, dan menjelmakan persaudaraan dan solidaritas. Zakat adalah lebih besar dari tindakan sosial, karena merupakan kewajiban agama yang berupa penyerahan sebagian harta kekayaan kepada Tuhan, dalam kata lain mengembalian sebagian dari kemurahan Tuhan untuk menghindari penderitaan hidup di akhirat. Maka, zakat menyucikan manusia yang memberikannya, dengan kemenangan terhadap egoisme atau kepuasan moral karena telah ikut mendirikan masyarakat Islam yang lebih adil.

Dalam hal mengeluarkan zakat fitrah ini umat Islam juga begitu antusias. Maka banyak orang yang berbondong-bondong pergi ke masjid/mushalla sebagai tempat penerimaan zakat – mereka yang berkemampuan, yang berpuasa atau tidak mau puasa, saat akhir ramadhan juga mengeluarkan zakat, seolah mereka tidak rela jika tidak mengeluarkan zakat.

Setelah ramadhan selesai dan ditutup dengan zakat, masuklah pada suatu babak baru Idul Fitri. Kesucian hati, kebersihan jiwa nampak menyelimuti orang-orang yang mengakhiri puasanya. Semua muslim keluar rumah untuk menunaikan shalat Idul Fitri – kemudian mereka menyebar ke seluruh penjuru untuk bersilaturrahim kepada sanak saudara, teman, mitra kerja dan siapa saja yang pernah dikenalnya untuk menyampaikan selamat Idul Fitri dan memohon maaf atas semua kesalahan yang telah dilakukan. Rumah-rumah ramai dengan tamu, alih-alih makan dan suguhan yang beraneka macam, bahkan yang ramai juga termasuk kuburan dan kebon binatang. Semua orang larut dalam suka cita, pintu-pintu yang semula ditutup - hari itu dibuka lebar-lebar, semua orang mau menerima tamu siapa saja tanpa kecuali – tidak ada sekat, tidak ada batas, tidak ada tabir, tidak ada perbedaan status dan sebagainya.

Inilah Idul Fitri, hati yang kembali suci ternyata mampu menembus batas usia dan status apapun juga. Karenanya saat Idul Fitri tidak ada rasa malu orang tua untuk meminta maaf pada anak-anaknya demikian juga atasan tidak merasa malu untuk meminta maaf pada bawahan dan begitu sebaliknya. Inilah Idul Fitri, berkat singgah dalam “stasiun kehidupan” pada bulan puasa ramadhan - suasana damai dapat diwujudkan, betapa indah dan sucinya ramadhan – maka hanya orang-orang yang berhati sucilah yang mampu kembali dalam fitrahnya.

Oleh: AHMAD JUPRIYANTO, S.Ag.

Sumber: dprd-tulungagungkab.go.id | Monday, 15 August 2011
Share:
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) didirikan di Jakarta
pada tanggal 23 Juli 1998 (29 Rabiul Awal 1419 Hijriyah) dideklarasikan oleh para kiai-kiai Nahdlatul Ulama
KH. Munasir Ali, KH. Ilyas Ruchiyat, KH. Abdurrahman Wahid, KH. A. Mustofa Bisri dan KH. A. Muhith Muzadi

0 komentar:

Posting Komentar