Minggu, 21 Februari 2016

Implementasi Sprit “Holopis Kuntul Baris” Untuk Mewujudkan Inklusifitas Pendidikan Di Jawa Timur




IMPLEMENTASI SPIRIT “HOLOPIS KUNTUL BARIS” UNTUK MEWUJUDKAN INKLUSIFITAS PENDIDIKAN DI JAWA TIMUR
Oleh: Drs. H. Abdul Halim Iskandar, M.Pd.
(Ketua DPRD Provinsi Jawa Timur)

Pengantar

Harus diakui bersama bahwa, sampai saat ini masih banyak anak dan remaja masih mengalami keterpinggiran, yang disebabkan oleh status kewargaannya. Di banyak daerah pedalaman dan terpencil, sebagaimana terjadi pada anak-anak buruh perkebunan di Kabupaten Jember dan sekitarnya, anak buruh migran di Tulungagung dan Trenggalek, pekerja rumah rumah tangga dan anak serta anak yang dilacurkan di Surabaya, yang mengalami keterpinggiran dari berbagai layanan sosial, baik pendidikan, kesehatan, kependudukan, serta layanan publik lainnya. Kondisi serupa juga dapat ditemukan di daerah terpencil lainnya di Jawa Timur, seperti di Daerah Kepulauan di Madura, maupun daerah-daerah terpencil lainnya. Akibat keterpenggiran tersebut, maka anak-anak tersebut, distereotipkan sebagai pembuat masalah (nakal, tidak tahu sopan santun bahkan kriminal). Toleransi terhadap perilaku sosial yang dianggap melenceng dari norma khalayak tersebut, masih sangat rendah. Dalam beberapa kasus anak jalanan bahkan dikriminalkan karenanya.

Keterpinggiran tersebut, banyak disebabkan oleh karena kemiskinan orang tua atau ketidakhadiran negara dalam memberikan layanan sosial, khususnya layanan pendidikan pendidikan. Padahal, Pendidikan adalah salah satu aspek pelayanan dasar yang menjadi hak setiap warga negara. Dalam pembukaan (premabule) UUD 1945 maupun dalam Pasal 31 UUD 1945 telah dijelaskan bahwa salah satu tujuan didirikannya Republik Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan negara berkewajiban menjamin setiap warga negaranya mendapatkan akses pendidikan yang memadai. Artinya pendidikan merupakan suatu kebutuhan dasar manusia, karena dengan pendidikan manusia memperoleh ilmu pengetahuan, nilai, sikap, serta keterampilan sehingga manusia dapat menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Melalui pendidikan juga, kualitas sumber daya manusia dapat meningkat, sehingga memiliki kemampuan dan keterampilan untuk membawa bangsa ke arah yang lebih baik.

Itulah kenapa negara wajib memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali. Termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel), maupun mereka yang termarjinalkan secara sosial-ekonomi (anak buruh tani, anak nelayan miskin, pekerja anak di perkebunan dan rumah tangga, buruh informal di wilayah urban, anak yatim-piatu, dsb).

Namun, meski sudah tercantum dalam Undang-undang dasar, dalam praktiknya tidak semua anak bangsa merasakan hak yang sama dalam hal akses pendidikan. Tidak sedikit anak-anak kita yang sampai sekarang masih tereksklusi dari dunia pendidikan karena berbagai sebab. Dalam konteks pelaksanaan pendidikan umum (mainstream), persepsi mayoritas masyarakat kita masih beranggapan bahwa pendidikan hanya berlaku untuk siswa/siswi yang berkategori “normal” atau tidak mengalami disabilitas (keterbatasan fisik). Sekilas persepsi semacam itu nampak bukan masalah besar. Padahal kelemahan yang tampak dari penyelenggaraa pendidikan seperti ini adalah tidak terakomodasinya kebutuhan idividual siswa di luar kelompok siswa “normal” (siswa/siswi penyandang disabilitas). Kondisi tersebut mencerminkan kondisi yang disebut sebagai PENDIDIKAN EKSKLUSI.

Contoh lain dari Pendidikan Eksklusi adalah ketika sistem pendidikan di negeri ini masih belum mampu merangkul siswa/siswi dari kalangan marginal atau masyarakat yang terpinggirkan secara sosial-ekonomi. Karena kemiskinan yang mendera, maupun karena tidak tersedianya infrastruktur untuk akses pendidikan. Karenanya, banyak anak-anak dari kalangan masyarakat marginal secara ekonomi, dan marginal dari sisi tempat tinggal, tidak mampu mengenyam pendidikan dasar dan menengah. Hal tersebut juga menjadi cerminan bahwa sistem pendidikan mainstream masih cenderung mengeksklusi (meminggirkan) siswa/siswi dari kalangan disabel dan juga mengeksklusi anak-anak dari kelompok masyarakat marginal.

Sebagai contoh. Merujuk “Hasil Pendataan Perlindungan Sosial (PPLS) 2011,” Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) 2012 mengungkap data bahwa di dalam Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) ditemukan anak yang berusia 7–17 tahun yang tidak sekolah dan bekerja sebanyak 177.374 anak. Anak ini sering bekerja di sektor pertanian, perikanan, perdagangan, jasa, dll. Sebagian besar pekerja anak bekerja pada jam kerja yang panjang, yaitu diatas 25 jam per minggu. Data ini mengungkapkan bahwa sebagaian besar pekerja anak berumur dibawah 15 tahun dengan status tidak sekolah dan bekerja. Hal tersebut kompatibel dengan hasil kajian organisasi buruh internasional (ILO) pada tahun 2009 yang melaporkan bahwa lebih dari 1,5 juta anak usia antara 10-17 tahun telah bekerja dan tidak sekolah, sebagian besar bekerja di sektor pertanian dan perkebunan. Mereka di antaranya tersebar di Sumatra Utara (155,196 anak), Jawa Tengah (204,406 anak), Jawa Timur (22,075 anak), dan tentu saja di Kalimantan yang marak dengan perkebunan sawit dan karet.

Selengkapnya bisa liat disini… jatimpakhalim.com
Share:
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) didirikan di Jakarta
pada tanggal 23 Juli 1998 (29 Rabiul Awal 1419 Hijriyah) dideklarasikan oleh para kiai-kiai Nahdlatul Ulama
KH. Munasir Ali, KH. Ilyas Ruchiyat, KH. Abdurrahman Wahid, KH. A. Mustofa Bisri dan KH. A. Muhith Muzadi

0 komentar:

Posting Komentar