Senin, 04 April 2011

Otonomi daerah dan kesejahteraan rakyat

Diakui bahwa pembangunan ekonomi Indonesia sepanjang era Orde Baru cukup banyak mendatangkan perubahan, peningkatan per kapita nasional dari US$ 70 di awal Orde Baru pada 1969 menjadi US$ 880 pada tiga tahun menjelang era Orde baru berakhir, yaitu 1995. Struktur perekonomian juga berubah, dimana awal Pelita I masih didominasi sektor pertanian sedang akhir Pelita V sumbangan sektor pertanian, jasa, dan industri PDB cenderung seimbang.

Sementera pertumbuhan ekonomi selama era Orde Baru 1969-1997, tercatat pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 % per tahun. Namun dari sisi lain, pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini, tidak dibarengi peningkatan distribusi pendapatan. Penerapan strategi growth first and distribution later yang memfokuskan diri pada akumulasi kapital nasional, dengan GNP sebagai ukuran keberhasilan dan menekankan pada pembangunan industri secara besar-besaran terbukti berhasil meningkatkan akumulasi kapital dan pendapatan per kapita. Namun keberhasilan ini hanya dinikmati segelintir orang, terutama para pemilik modal dan kelompok elit nasional, sehingga konsep ini juga melahirkan ketimpangan atau kesenjangan.

Kesenjangan lainnya adalah kesenjangan antar daerah, yaitu tingkat sangat beragamnya kemajuan pembangunan antar daerah, sehingga tingkat pembangunannya juga sangat bervariasi. Contoh, pada 1990, produk per kapita Kaltim yang merupakan salah satu daerah terkaya, besarnya 16 kali dibanding produk per kapita NTT yang merupakan salah satu daerah termiskin. Ironisnya pula, pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi tersebut justru ternyata tidak berdampak positif pada masyarakat di daerah tempat sumber daya alam sangat dominan.

Daerah-daerah kaya yang ditunjukkan dengan PDRB tinggi, ternyata tingkat kemiskinannya juga banyak yang parah. Untuk tahun 1990, Papua yang merupakan PDRB tertinggi ke tiga, presentase masyarakat miskin berada pada urutan ke-3 yaitu sebesar 21.2%, demikian juga Kalbar yang PDRB termasuk tinggi, persentase masyarakat miskinnya malahan di urutan ke-2 dengan persentase sebesar 22.0%. Hal yang kurang lebih mirip juga terjadi untuk Kaltim sebagai provinsi PDRB tertinggi kedua saat itu, persentase masyarakat miskin masih tinggi yaitu sebesar 9.2%. Bisa pula dibandingkan dengan data tahun 1993, dimana pendapatan masyarakat lokal Papua sekitar 200 ribu rupiah per kapita, sementara pendapatan rata-rata provinsi Papua secara keseluruhan saat itu sudah sekitar 1 juta rupiah.

Hal ini bisa diartikan bahwa pendapatan masyarakat luar daerahlah yang menjadikan besarnya rata-rata pendapatan yang tinggi tersebut yang bisa dipastikan bahwa pendapatan rata-rata masyarakat luar ini besarnya jauh di atas 1 juta rupiah yang sekaligus menunjukkan kepincangan pendapatan antara pendatang dan masyarakat lokal. Jadi tidak heran jika saat itu, ada kesimpulan bahwa daerah seperti Aceh, Riau, Papua, Kalimantan Timur, menjadi korban kekayaan alam, dimana tambang dan hutan dieksploitasi dengan menggunakan modal besar dan teknologi tinggi yang dikuasai oleh kapitalis dan konglomerat, dengan dana yang diperoleh dari sesama kapitalis di luar negeri.

Salah satu penyebab terjadinya kesenjangan antar daerah sebagaimana diuraikan di atas, diyakini terkait dengan pola pendekatan yang sentralistik dan seragam yang saat itu dikembangkan oleh pemerintah pusat. Sentralisasi dinilai telah menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan, rendahnya akuntabilitas, lambatnya pembangunan infrastruktur sosial, rendahnya tingkat pengembalian proyek-proyek publik, serta lambatnya pengembangan kelembagaan sosial ekonomi di daerah. Dengan terlalu sentralistik, peningkatan penanaman modal dan iklim usaha kurang menguntungkan daerah, baik dalam penyerapan tenaga kerja di daerah maupun penerimaan pajak penghasilan dan pertambahan nilai yang tetap dikuasai pusat, walaupun ada yang diperoleh oleh daerah melalui berbagai pungutan dan PBB, jumlahnya relatif kecil.

Otonomi daerah dan desentralisasi saat itu diharapkan dapat menjadi jawaban atas permasalahan lokal bangsa Indonesia berupa ancaman disintegrasi bangsa, kemiskinan, ketidakmerataan pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat, dan masalah pembangunan sumber daya manusia. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal saat itu diharapkan juga akan dapat menjadi langkah strategis bangsa Indonesia untuk menyongsong era globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perokonomian daerah, sehingga daerah otonom diharapkan dapat mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal.

Melalui pelaksanaan otonomi daerah, mestinya telah terbuka peluang setiap daerah di Indonesia untuk membenahi potensi yang dimiliki dan memulai pelaksanaan program daerah yang dimulai dengan penyusunan data base, penyusunan kerangka dasar dan kebijakan pembangunan sampai pada bagaimana memanfaatkan sumberdaya alam yang ada.

Dari semua yang dipaparkan di atas tentang harapan dari otonomi daerah untuk kesejahteraan rakyat, maka mestinya langkah-langkah yang akan diambil oleh para kepala daerah otonom baik bupati maupun walikota adalah (i) Pemberian peluang atau akses yang lebih besar kepada aset produksi, dengan akses yang paling mendasar adalah pada dana, (ii) Memperkuat posisi transaksi dan kemitraan usaha ekonomi rakyat, (iii) Meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan dalam rangka kualitas sumber daya manusia, disertai dengan upaya peningkatan gizi, (iv) Kebijakan pengembangan industri harus mengarah pada penguatan industri rakyat yang terkait dengan industri besar. Industri rakyat yang berkembang menjadi industri-industri kecil dan menengah yang kuat harus menjadi tulang punggung industri nasional, (v) Kebijakan ketenagakerjaan yang mendorong tumbuhnya tenaga kerja mandiri sebagai cikal bakal wirausaha baru yang nantinya berkembang menjadi wirausaha kecil dan menengah yang kuat dan saling menunjang, (vi) Pemerataan pembangunan antar daerah dengan ekonomi rakyat yang tersebar di seluruh penjuru tanah air, oleh karena itu pemerataan pembangunan daerah diharapkan mempengaruhi peningkatan pembangunan ekonomi rakyat, (vi) Mampu melihat bahwa daerah adalah basis pengembangan ekonomi rakyat, terutama dalam menangani lembaga keuangan dan pengembangan koperasi, (vii) Menjadikan koperasi sebagai flatform dasar, karena mestinya koperasi cukup handal dalam sektor keuangan , (viii) Penguatan KSP dan BPR di daerah otonom yang akan memberikan keseimbangan lalu lintas keuangan di daerah agar tidak selalu terkesan pengurasan keluar.

Namun setelah 12 tahun bergulirnya otonomi daerah, ternyata dampak otonomi daerah tersebut terhadap kesejahteraan rakyat tidak terlalu signifikan, sebagian besar kepala daerah tidak mampu atau tidak berkehendak untuk membuat program yang betul-betul mensejahterakan rakyatnya melalui program yang terencana dan berkesinambungan. Kebanyakan kepala daerah yang terpilih justru lebih menyibukkan diri dengan urusan pribadi, urusan mempertahankan kekuasaan dengan manuver-manuver politik dan tindakan-tindakan yang hanya mengharapkan popularitas sesaat, instan dan membangun dukungan semu. Selebihnya banyak yang sibuk mencari pengembalian dana yang telah dihabiskan dalam pemilihan ataupun mengumpulkan dana untuk pemilihan berikutnya.

Jadi kalau sampai sekarang rakyat tetap tidak sejahtera dan masih seperti dahulu, yang salah bukan otonomi daerahnya, yang salah juga tentu bukan rakyatnya, yang salah bukan pula sistem pemilihannya, persoalannya apapun sistem yang diberlakukan, ada saja orang yang mampu mencari celah dan memanfaatkan celah tersebut untuk bisa tampil sebagai pemimpin, padahal sesungguhnya mereka tidak layak, tidak pantas, tidak kompeten, dan tidak semestinya jadi pemimpin. Akibatnya, itulah yang kita rasakan, desentralisasi dan demokratisasi yang sudah dan masih berlangsung, tidak menjadikan rakyat lebih sejahtera. Tanya kenapa !

Oleh : ZULKARNAIN LUBIS, Penulis adalah Guru Besar UMA

Sumber: WasPADA ONLINE
Share:
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) didirikan di Jakarta
pada tanggal 23 Juli 1998 (29 Rabiul Awal 1419 Hijriyah) dideklarasikan oleh para kiai-kiai Nahdlatul Ulama
KH. Munasir Ali, KH. Ilyas Ruchiyat, KH. Abdurrahman Wahid, KH. A. Mustofa Bisri dan KH. A. Muhith Muzadi

0 komentar:

Posting Komentar